Korupsi

Pengembalian Uang Korupsi Bukan Jaminan Bebas Hukuman

Sumber Foto: Istimewa

JAKARTA – Aktivis antikorupsi Kurnia Ramadhana, menegaskan bahwa pengembalian uang hasil korupsi tidak otomatis menghapuskan hukuman pidana. Pernyataan ini ia sampaikan terkait anggapan bahwa sistem pemidanaan bergeser dari pendekatan retributif ke restoratif.

“Pemulihan kerugiannya juga dilihat, saya kurang sependapat dengan poin ini kalau kita berpindah, maka kita harus evaluasi apakah benar retributif kita sudah serius,” kata Kurnia, Minggu (29/12/2024).

Kurnia menjelaskan bahwa riset pemerintah, seperti yang dilakukan Mahkamah Agung, menunjukkan bahwa vonis pidana penjara sudah memberikan efek jera. Namun, hasil tersebut bertentangan dengan temuan dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menurut Kurnia, ICW pernah melakukan penelitian pada 2023 terhadap seluruh putusan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dari Aceh hingga Papua selama periode 1 Januari hingga 31 Desember. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata hukuman bagi koruptor hanya 3 tahun 4 bulan penjara.

“Lalu, kenapa ujuk-ujuk kita harus berpindah ke restoratif,” ujar mantan peneliti ICW itu.

Kurnia menyoroti pandangan sebagian pihak yang menyatakan bahwa pengembalian uang oleh pelaku korupsi seharusnya dimaafkan. Menurutnya, hal ini mencerminkan pola pikir yang seakan-akan mengabaikan pendekatan pemidanaan retributif.

“Saya pribadi bukan tidak sepakat dengan restoratif, sepakat. Tapi, retributifnya juga diakomodir, jadi hukuman bagi pelaku korupsi,” terangnya.

Ia menambahkan, tuntutan hukuman seharusnya mengombinasikan hukuman penjara yang berat dengan denda yang tinggi. Kurnia juga mendesak pemerintah untuk merevisi undang-undang pemberantasan korupsi, mengingat kejahatan korupsi sebagai tindak kejahatan lintas negara terus berkembang.

“Kan logika sederhananya kejahatan terlebih dahulu ada baru hukumnya ada, kalau kejahatan yang terus berkembang hukumnya tidak diupdate tentu ini akan berpengaruh pada proses hukum,” jelas Kurnia.

Salah satu aspek yang perlu diperbaiki adalah sanksi denda. Saat ini, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, denda maksimal bagi pelaku korupsi adalah Rp1 miliar, sedangkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), denda maksimal mencapai Rp10 miliar.

“Jadi butuh ada politik hukum yang clean and clear soal perbaikan tata kelola pemberantasan korupsi, khususnya tentang keberpihakan jaksa atas tuntutan yang rendah,” ungkapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button